Oleh : Rinaldi Prasasti.
Mhs FKM-UTU.MBO
MENUJU UNIVERSITAS TEUKU UMAR
LEBIH BAIK
Setelah mendapat izin operasional dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) melalui Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah I Medan, baru kemudian Universitas Teuku Umar (UTU) memulai kegiatan belajar-mengajar pada pertengahan tahun 2006 lalu yang bertempat di Jl. Alue Peunyareng Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat. Dalam rangka pembangunan gedung belajar milik UTU juga terdapat bantuan hibah dari Bpk Surya Paloh melalui Yayasan Sukma. Bangunan fisik (gedung) yang telah ditempati sekarang belum memadai sehingga pihak pemerintah yang punya peranan penting dalam hal ini telah mengalokasikan dana untuk pembangunan fisik di UTU sedikit demi sedikit sehingga diharapkan sesuai dengan rencana induk (masterplan) yang sudah dibuat sebelumnya. Sumber dana untuk pembangunan fisik maupun non-fisik UTU selama ini didominasi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Aceh Barat dengan tanpa menafikan alokasi dana dari Pemerintah Provinsi NAD (Pemprov NAD) sedangkan Pemda se-pantai Barat-Selatan lainnya dinilai minim berkontribusi. Menyikapi masalah minimnya anggaran tersebut sangat wajar bila UTU meminta pada Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional agar melakukan penegrian UTU secepatnya tanpa banyak mempersoalkan kekekurangan yang tidak mungkin terselesaikan tanpa dukungan dana yang memadai sedangkan kondisi se-Aceh Barat-Selatan belum terdapat satu pun universitas negri. Tawaran untuk memprivatisasi UTU bukan solusi yang baik untuk mendukung kemajuan bidang pendidikan sebab dengan memprivatisasi UTU maka sumber pembiayaan akan ditarik melalui mahasiswa sehingga bukan untuk meringankan beban masyarakat justru menambah beban & menguntungkan pihak swasta nantinya. Sebagai mahasiswa UTU yang hanya bisa menjadi pendukung ini maka penulis menyarankan pada pihak-pihak yang terlibat dalam proses akselerasi penegrian UTU agar meningkatkan kinerjanya.
Mewujudkan suatu universitas negri tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Selian harus melakukan lobi yang intensif juga perlu dilaksanakan pembenahan internal baik berupa fisik maupun non-fisik seperti: fasilitas, sumber daya manusia (SDM), maupun birokrasi yang baik. Sejauh pengamatan penulis selama ini mengenai fasilitas di UTU belum bisa dikatakan cukup untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar sebagaimana mestinya termasuk pelaksanaan pratikum yang semestinya tidak boleh lagi bergantung pada sarana & prasarana yang dimiliki oleh universitas lain seperti Unsyiah di Banda Aceh. Permasalahan semacam ini harus mampu diselesaikan oleh birokrat yang ada di UTU terutama pihak Rektorat dengan segala upaya. Siap atau tidak siap, cukup atau tidak cukupnya dukungan anggaran yang dialokasikan untuk operasional UTU harus bisa disikapi agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut atau dicari alternatif yang lebih baik. Sangat disayangkan yang terjadi justru tidak adanya rasa memiliki pada kalangan mahasiswa terhadap apa saja yang sudah dimiliki seperti peralatan tulis, kursi, meja, dll. Hendaknya teman-teman mahasiswa tidak membiarkan begitu saja oknum-oknum perusak milik publik itu sebab pembelian fasilitas tersebut adalah hasil akumulasi dana publik. Mengenai bidang SDM sudah selayaknya mahasiswa UTU harus bisa tampil lebih baik daripada masa sebelumnya diantaranya dengan meningkatkan frekwensi belajar yang selama ini dilakukan di luar jam perkuliahan. Jangan menjadi mahasiswa yang berharap banyak pada universitas yang masih merangkak ini tapi berusahalah melakukan apa yang kita bisa lakukan untuk mendukung kemajuan kampus tercinta ini. Keberadaan sejumlah mahasiswa yang sudah mencapai jumlah ribuan itu hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai tenaga yang mendukung untuk meningkatkan pemasukan (income) bagi UTU dalam hal ini bukan bersumber dari biaya SPP melainkan keberadaan SDM yang banyak merupakan modal pembangunan. Bila dijajaran pemerintahan sering melibatkan swadaya masyarakat, mengapa di lingkungan kampus tidak mampu melibatkan swadaya mahasiswa?? Tidak ada salahnya merealisasikan usulan dari seorang sosok yang peduli terhadap kampus UTU yaitu Bpk Kiswanto, Spd, M.Si tentang penyediaan tempat yang menawarkan jasa atau pelaksana mengenai kebutuhan alat tulis, dll yang dikelola oleh mahasiswa sedangkan pendapatannya masuk ke kas UTU. Tentu bukan hanya beliau saja yang punya usulan untuk perubahan & perkembangan UTU menjadi lebih baik kedepan. Keberadaan berbagai unit kegiatan mahasiswa (UKM) hendaknya tidak berorientasi pada budaya konsumtif tetapi bisa mandiri bila perlu mampu memberi insentif kepada kampus. Bila hal ini bisa terwujud di UTU sungguh telah terjadi suatu gebrakan yang luar biasa. Hal demikian bukan mustahil terjadi bila keberadaan seluruh elemen yang ada di kampus UTU tercinta ini tidak untuk mencari hidup melainkan untuk membangun demi kemaslahatan bersama. Jiwa seorang birokrat yang amanah juga penting ditanamkan pada setiap individu yang terlibat dalam kegiatan birokrasi di UTU. Birokrat di UTU tidak boleh menggelapkan walau Rp 100.- dari dana publik yang dikumpulkan tersebut. Pengelolaan dana yang tidak sedikit itu harus transparan baik dari segi jumlah maupun realisasinya kepada semua kalangan. Mahasiswa tidak boleh diam dalam menyikapi birokrat yang bermental koruptor yang membudaya tanpa ada tindakan tegas. Keberanian mahasiswa harus muncul barawal dari pengamatan yang dilakukan secara jeli & punya landasan atau bukti nyata sebab mahasiswa adalah kaum intelektual muda. Keberanian mahasiswa bukan menungu ketika sudah ramai yang menyuarakan & memperjuangkan ketidakadilan maupun pelanggaran yang dilakukan baik itu dijajaran pemerintahan, rektorat, akademik, dosen, dll. Mahasiswa tidak boleh jadi seorang penakut ketika melihat kezaliman karena Allah Swt melindungi siapa saja yang memperjuangkan kebenaran & tidak ada pertolongan Allah Swt kepada orang-orang yang berbuat zalim. Tidak akan jatuh sehelai rambut pun bila diluar kehendak Allah Swt. Sudah selayaknya mahasiswa menjalin persatuan & kesatuan dalam menghadapi kebathilan. Sangat disayangkan bila pada zaman sekarang ini masih ada mahasiswa yang membebek pada hal-hal yang bersifat tidak wajar. Mahasiswa sejati bukan berkeluh kesah di warung kopi mengenai ketidakadilan yang ia alami tetapi mahasiswa harus mampu menyampaikan semua permaslahan secara berani & bertanggungjawab. Keberadaan pihak Rektorat maupun Akademik bukanlah sekedar regulator terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tetapi lebih tepatnya disebut pelayan publik. Jika demikian adanya maka sangat disesali bila masih ada oknum-oknum yang dengan bangga menampilkan sikap arogan pada mahasiswa sebab keberadaan mereka itu karena adanya mahasiswa. Semoga seluruh kegiatan birokrasi di UTU dapat menjadi lebih baik.
Rektorat merupakan pusat (center) yang bisa diaktakan sebagai jantungnya kehidupan kampus UTU mempunyai peranan vital dalam menyikapi berbagai hal yang terjadi di lingkungan kampus. Pihak rektorat tidak boleh pasif dalam menyikapi suasana di lingkungan kampus UTU seperti keberadaan mushala yang mudah dimasuki hewan itu perlu mendapat perhatian serius. Dengan modal hak otonomi khusus di Aceh mengapa pihak rektorat belum juga mengeluarkan kebijakan resmi tentang keberadaan kampus UTU yang islami?? Padahal Bupati Aceh Barat sangat merespon baik yang demikian itu. Mengenai ketertiban parkir harus disikapi dengan baik sehingga tidak sampai menggunakan area di depan ruangan akademik sebagai tempat parkir kendaraan. Menindak setiap oknum yang sengaja membuang sampah dibelakang ruangan akdemik dengan alsan praktis itu perlu disikapi dengan tegas karena mencemari lingkungan & merusak pandangan sehingga tempat tersebut telah disebut tong sampah raksasa. Demikian pula keberadaan sarang lebah di samping aula juga meresahkan siapa saja yang berada disekitar area tersebut. Semoga UTU bisa menjadi lebih baik. Amin.